Selfie merupakan Gangguan Jiwa?

Is selfie a disorder

CC Image courtesy of Howard Ignatius on Flickr

Belakangan, kembali ramai lagi di timeline media sosial saya mengenai konfirmasi dari American Pyschiatric Association bahwa selfie atau memotret diri sendiri kini menjadi gangguan kejiwaan dengan nama gangguan “selfitis”. Hal ini tentu menghebohkan, mengingat banyak sekali teman-teman saya yang senang melakukan selfie dan di-upload ke media sosialnya, hehehe…

Sebenarnya informasi tersebut adalah berita lama, sudah ada sejak awal tahun 2014, namun mungkin baru ramai di timeline saya belakangan ini. Karena ternyata banyak friends saya di sosial media yang membagikan informasi “selfie adalah gangguan jiwa”, saya pun akhirnya berinisiatif untuk membuat tulisan ini.

Oke, kita masuk ke dalam pertanyaan utama kita: apakah benar, selfie kini dianggap sebagai gangguan kejiwaan?

Jawaban saya: berita tersebut adalah HOAX!

Bagaimana saya bisa berpendapat seperti itu?

Pertama-tama, kita perlu mengetahui dulu dari mana informasi selfie adalah gangguan kejiwaan berasal.

Setelah melakukan pencarian melalui search engine (baca: googling), saya pun menemukan bahwa blog-blog atau website-website yang memuat informasi mengenai selfitis atau selfie adalah gangguan kejiwaan. Tentu saya lebih mengutamakan blog-blog atau website-website yang berbahasa Inggris, karena menurut “klaim” isu yang beredar, selfie dianggap gangguan kejiwaan oleh American Psychiatric Association (selanjutnya saya singkat dengan ApA), maka saya juga lebih mengutamakan website berbahasa Inggris dengan anggapan lebih “dekat” dengan sumber aslinya. Ternyata, sumber pertama mengenai isu selfitis atau selfie adalah gangguan kejiwaan berasal dari website The Adobo Chronicles pada tautan http://adobochronicles.com/2014/03/31/american-psychiatric-association-makes-it-official-selfie-a-mental-disorder/

Saya pun langsung membuka link tersebut dan mencari tahu mengenai keabsahan isi berita tersebut, terlebih Adobo Chronicles mengklaim bahwa American Psychiatric Association-lah yang menyatakan bahwa selfie merupakan gangguan kejiwaan.

Secara sekilas, isi berita tersebut nampak meyakinkan, karena Adobo Chronicles mampu menyajikan penggolongan tingkat keparahan selfitis beserta cara penyembuhannya. Namun saya penasaran, jika informasi tersebut benar dan official dari ApA, mengapa saat saya melakukan pencarian di google, tidak ditemukan informasi serupa dari website APA (American Psychological Association), ApA, atau setidak-tidaknya dari Psychology Today, Times, atau Forbes? (btw, Forbes juga mengonfirmasi bahwa info tersebut adalah hoax)

Melihat isi artikel dari Adobo Chronicles yang meyakinkan – namun tidak mendapatkan informasi tersebut dari website-website berita yang lebih terpercaya – saya pun mencari tahu tentang Adobo Chronicles. Seperti biasa, di zaman yang sangat canggih ini, membuat berita palsu dan menyebarkannya secara viral adalah hal yang sangat mudah. Saya ingin tahu apakah Adobo Chronicles merupakan website terpercaya dan mendapatkan informasi tersebut dari sumber yang berotoritas.

Saya pun membuka bagian “About Us” (http://adobochronicles.com/about/) untuk mencari tahu, dari mana berita-berita Adobo Chronicles berasal.

Setelah saya baca… hehehe… langsung nyengir dengan penuh rasa geli. Ya ampun! Saya terlalu serius menanggapinya, ternyata Adobo Chronicles merupakan website yang dibuat untuk lucu-lucuan atau satir! Slogannya saja “THE ADOBO CHRONICLES  is your source of up-to-date, unbelievable news.” atau “The Adobo Chronicles merupakan sumber berita anda yang up-to-date dan tidak dapat dipercaya”.

Oke… oke… lebih lanjut lagi, dalam halaman tersebut, tertulis:

“We reserve the right to edit or censor any comment that we deem inappropriate or funnier than our posts.

Jika diterjemahkan secara bebas menjadi: “Kami berhak untuk menyunting atau melakukan sensor terhadap komentar yang kami anggap tidak pantas atau lebih lucu dari tulisan kami”. Perhatikan penekanan pada “funnier than our post” atau “lebih lucu dari tulisan/postingan kami”. Pada intinya, Adobo Chronicles ingin menginformasikan bahwa tulisan-tulisan yang ada di dalam website tersebut ditujukan untuk lucu-lucuan (beberapa sumber mengatakannya sebagai website yang satir atau menyindir secara halus).

Sudah jelas sekarang?

Ketika menyadari hal ini, saya teringat pada kontroversi DSM-V. Bagi yang kurang familiar dengan istilah “DSM-V”, secara ringkas dapat dikatakan bahwa DSM-V adalah buku panduan mengenai gangguan kejiwaan yang diterbitkan oleh American Psychiatric Association (ApA). Buku tersebut berisi macam-macam gangguan kejiwaan beserta ciri-cirinya, sehingga digunakan sebagai acuan penegakkan diagnosis gangguan kejiwaan di seluruh dunia.

DSM-V terbit pada tahun 2013. Pada saat itu (dan sebenarnya saat ini masih), muncul banyak sekali kontroversi mengenai DSM-V. Banyak pakar di bidang kesehatan mental berpendapat bahwa DSM-V kurang dilandasi oleh basis ilmiah sehingga seseorang mudah sekali dianggap memiliki gangguan kejiwaan. American Psychological Association merupakan salah satu lembaga yang kurang setuju dengan DSM-V. Ada yang menduga bahwa pada saat itu penerbitan DSM-V disusupi oleh kepentingan pabrik-pabrik farmasi yang tentu akan mendapatkan banyak keuntungan bila banyak orang yang didiagnosa sebagai “pengidap gangguan jiwa”.

Dugaan saya, Adobo Chronicles membuat satir atau sindiran halus terhadap ApA terkait DSM-V dengan menciptakan artikel “American Psychiatric Association makes it official: Selfie a mental disorder”, karena DSM-V terbitan ApA dianggap terlalu mudah mengklaim seseorang memiliki gangguan jiwa, sampai-sampai selfie pun dianggap gangguan jiwa. Jika ditilik, nampaknya masuk akal, karena artikel tersebut dipublikasikan pada tanggal 31 Maret 2014, sedangkan DSM-V terbit pada 18 Mei 2013.

Demikian pemikiran saya mengenai isu bahwa selfie dimasukkan sebagai gangguan kejiwaan oleh ApA. Pada intinya, berita tersebut adalah HOAX (sudah dikonfirmasi oleh beberapa website yang lebih dapat dipercaya daripada Adobo Chronicles seperti PsychCentral dan Forbes). Berita tersebut adalah satir mengenai kontroversi terbitnya DSM-V. Lagipula, dalam DSM-V, memang saya tidak menemukan gangguan kejiwaan bernama “selfitis” atau berkaitan dengan selfie.

Pelajaran yang bisa kita petik, mari kita lebih kritis lagi terhadap isu-isu yang beredar di dunia maya, terutama di sosial media. Dengan kecanggihan teknologi, mudah sekali untuk menyebarkan informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan dikonsumsi oleh manusia seantero dunia. Kembali lagi, kita harus mampu memilah-milah informasi yang layak atau tidak layak untuk kita konsumsi.

Jakarta, 26 Juni 2015

NB:

* Tulisan ini tidak saya tujukan sebagai tulisan ilmiah, sehingga tidak ada daftar referensi yang saya cantumkan di dalam tulisan ini

** Bagi yang tertarik mengenai kontroversi DSM-V, dapat membaca ulasan dari Prof. Sarlito W. Sarwono di sini.

Yuk, Beri Komentar dan Berdiskusi di Sini