Harum bunga sedap malam memenuhi ruang-ruang di rongga hidung ketika berjalan di sepanjang Jl. Petak Sembilan, Glodok, Jakarta Barat. Waktu menunjukkan pukul 20.00, pada tanggal 30 Januari, tepat malam sebelum Imlek. Di Petak Sembilan para pedagang manisan dan angpau mulai beristirahat dan membereskan lapak-lapaknya. Jalanan di sana sudah sepi, tapi jika kita berjalan sekitar 1 kilometer menelusuri Petak Sembilan tersebut, kita akan menemukan keramaian dari Kelenteng Jin De Yuan atau Vihara Dharma Bakti.
Jin De Yuan (baca: Cin Te Yuen, dalam lafal Hokkian disebut sebagai Kim Tek Ie), sejatinya bukanlah sebuah vihara. Saya lebih setuju menyebutnya sebagai kelenteng, karena vihara merupakan tempat kebaktian umat Buddha, sedangkan kelenteng merupakan gedung budaya dan ibadah dari umat kepercayaan rakyat Tionghoa. Agama Buddha bukan milik orang Tionghoa saja, bisa saja menjadi milik orang Jawa (saya kaget ketika guru saya mengatakan banyak sekali umat Buddha adalah orang Jawa), orang India, atau suku lainnya. Sedangkan orang Tionghoa, ya hanya untuk suku Tionghoa saja. Di dalam kelenteng terdapat berbagai dewa-dewa pemujaan orang Tionghoa. Buddha merupakan salah satunya, di samping dewa-dewa dari agama Taoisme dan juga Konghucu. Di Indonesia, agama rakyat Tionghoa ini lebih dikenal dengan nama agama Konghucu. Baca lebih lanjut